Jumat, 09 September 2011

Hukum Seputar Zakat

A. Pendahuluan

Zakat di dalam Islam merupakan salah satu rukun dari lima rukunnya. Ibadah ini selalu Allah gandengkan dengan perintah shalat sebagai tiangnya agama. Olehnya itu, maka kewajibannya adalah sesuatu yang sudah dimaklumi oleh khalayak umum, tidak ada seorang muslim pun kecuali pasti telah mengetahuinya (ma’lumun fil Islaami bi ad dharuurah).



Hukum zakat ditetapkan berdasarkan dalil-dalil: (i) Al-Qur’an, (ii) As-Sunnah, dan (iii) Ijma’ (kesepakatan ummat). Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata:

الزكاة أمر مقطوع به في الشرع يستغني عن تكلف الاحتجاج له وإنما وقع الاختلاف في بعض فروعه وأما أصل فرضية الزكاة فمن جحدها كفر
“Zakat adalah urusan yang sudah final dalam syariat Islam, kewajibannya tidak bisa diutak-utik lagi, tak terbantahkan oleh siapapun, walaupun ada ikhtilaf pada sejumlah rinciannya; maka siapapun yang menentang asal kewajiban zakat maka kafirlah ia.”[1].

B. Dalil Diwajibkannya Zakat

Maka diantara dalil wajibnya zakat adalah:

1. Al-Qur’an Al-Karim.

Allah berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [البقرة/110]
“Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan apa saja yang kalian berikan berupa harta, maka akan kalian temukan pahalanya di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat atas apa yang kalian lakukan.”. (Al-Baqarah: 110)

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ [البقرة/277]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan menegakkan shalat, serta menunaikan zakat, maka bagi mereka balasan kebaikan ada di sisi Rabb mereka, mereka tiada takut apalagi bersedih hati.”. (Al-Baqarah: 277).

                     Dalam dua ayat yang telah disebutkan dan banyak ayat lain yang semisal, Allah menggandengkan perintah melaksanakan shalat dengan perintah membayar zakat. Diantara sebab penggandengan ini adalah –wallahu a’lam- karena zakat adalah ibadah harta dan shalat adalah ibadah badan, maka isyarat yang hendak disampaikan melalui penggandengan ini adalah kewajiban menselaraskan antara perbuatan ihsan kepada Allah yang dilambangkan dengan shalat, dan kewajiban berbuat baik kepada sesama yang dilambangkan dengan membayar zakat. Dan sebagaimana shalat adalah ibadah yang hanya bisa ditujukan kepada Allah, maka demikian juga zakat –pun hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.

                         Diantara dalil al Quran yang menyebutkan wajibnya membayar zakat adalah ketika Allah menjadikan shalat dan zakat sebagai sebab ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), yang sedikit tidaknya mengisyaratkan bahwa orang-orang yang wajib membayar zakat sedang ia tidak menunaikannya bukanlah merupakan saudara seiman. Allah berfirman:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ [التوبة/11]
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka saudara kalian dalam Islam. “. (At-Taubah: 11). Olehnya, maka Allah menyatakan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah cara hidupnya orang kafir. Allah berfirman:

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ (6) الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآَخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ [فصلت/6، 7]
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya (musyrik). Mereka itu adalah orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat..”. (Fusshilat: 7)

Allah memperingatkan orang-orang yang menimbun harta:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ [التوبة/34، 35]
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya mayoritas rahib dan pendeta Kristen dan Yahudi, mereka memakan harta manusia dengan cara-cara yang bathil dan menghalang-halangi manusia dari jalan-jalan Allah. Dan orang-orang yang menimbun-nimbun emas dan perak serta tidak menginfaqkannya di jalan Allah, maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang sangat pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”". (At-Taubah: 34-35)

2. As-Sunnah An-Nabawiyah

Adapun beberapa keterangan dari sunnah Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang kewajiban zakat adalah:

a. Riwayat Ibnu Umar ––radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun diatas lima rukun, yaitu: Syahadat Laa ilaaha Illallah wa anna Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan haji, serta puasa Ramadhan.”[2].

b. Riwayat Abu Hurairah ––radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Siapa saja yang memiliki emas dan perak lalu tidak dikeluarkan zakatnya maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan dari api lalu dipanaskan dalam neraka kemudian dahi-dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya. Setiap kali lempengan itu menjadi dingin, kembali dipanaskan. Demikianlah berlaku setiap hari yang panjangnya setara dengan lima puluh ribu tahun di dunia. Hingga diputuskan ketentuan bagi masing-masing hamba apakah ke surga ataukah ke neraka. “[3].

Demikianlah beberapa keterangan dari sunnah Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- yang berisi penegasan akan kewajiban ibadah yang mulia ini.

C. Definisi

1. Secara Etimologi

Zakat, secara bahasa, berarti berkembang dan menjadi suci. Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا [الشمس/9]
“Dan beruntunglah orang-orang yang mentazkiyah (menyucikan) jiwanya.”. (Al-Syams; 9). Disebutkan:
المالُ تنقُصه النَّفقة والعِلم يَزْكُو على الإِنْفاقِ
“Harta itu akan berkurang dengan membelanjakannya, namun ilmu akanlah yazku (bertambah) dengan menginfakkannya.”[4].

2. Secara Terminologi

Adapun definisi zakat secara syariat, maka Al-Hafidz –rahimahullah-menjelaskan dalam Fathul Bari:

إعطاء جزء من النصاب الحولي إلى فقير ونحوه غير هاشمي ولا مطَّلِبِي
“Zakat yaitu memberikan sebagian dari harta yang sudah mencapai nishab (kadar tertentu) yang sudah genap satu haul (tahun), dan diberikan kepada orang fakir dan yang lainnya, yang bukan merupakan keturunan bani Hasyim dan bukan keturunan Muththalib.”[5]. Hubungan antara defenisi syar’I dari ibadah ini dengan defenisinya secara bahasa –setidaknya- tergambar dalam dua hal:

Pertama, zakat adalah menjadi sebab berkembangnya harta atau bertambahnya pahala. Dalilnya adalah hadits Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidak akan menjadi berkurang harta karena dizakati.”[6]. Hal ini disebabkan karena balasan pahalanya akan berlipat-ganda dan Allah-lah yang akan mengembangkan harta karena zakat.

Kedua: zakat menjadi sebab suci dan bersihnya jiwa dari sifat-sifat tercela, seperti bakhil dan berbagai dosa. Allah berfirman;

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [التوبة/103]
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan [Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda] dan mensucikan mereka [Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka] dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”. (at Taubah; 103)

D. Tahun Kewajiban

Zakat ditetapkan dalam Islam dan menjadi wajib pada tahun kedua hijrah, sebelum kewajiban puasa Ramadhan. Demikianlah pendapat dari mayorits ulama[7].

E. Nama Lain Zakat

Zakat memiliki nama-nama yaitu;

1. Zakat, sebagaimana beberapa keterangan yang telah disebutkan. Allah berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ [البقرة/43]
“Dan mereka menegakkan shalat dan menunaikan zakat.”. (al Baqarah; 43)

2. Al-Haq
وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ [الأنعام/141]
“Dan tunaikanlah haq-nya (zakat) pada saat ia dipanen.”. (al An’aam; 141)

3. Al-Nafaqah
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ [التوبة/34]
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan peraknya serta tidak mengeluarkan nafkahnya (zakat) di jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih.”. (at Taubah; 34)

4. Al-Shadaqah
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [التوبة/103]
“Dan ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat) yang dengannya membersihkan harta dan mensucikan jiwa-jiwa mereka.”. (at Taubah; 103)

F. Syarat-syarat Harta yang Wajib Dizakati

1. Milik Penuh (Al-Milkuku at taam)

                  Yaitu harta tersebut berada dalam penguasaan dan kekuasaan pemiliknya. Oleh karenanya tidak diwajibkan zakat atas harta yang diwaqafkan (untuk kepentingan umum), harta yang dicuri, harta yang dirampas sampai bisa kembali ke tangannya, demikian juga harta yang dibelinya tapi belum mampu diambil dari penjual.
Maka barangsiapa memiliki harta dengan kepemilikan penuh, -ketika itu- wajib atasnya zakat. Kepemilikan itu bisa berupa hasil usahanya, sewaan, pemberian negara, pinjaman atau waqaf –khusus- untuk dirinya.
                Olehnya itu pula, barangsiapa memiliki hutang dan uangnya yang sisa tidak cukup senisab, maka hendaklah ia lunasi hutangnya itu, dan ia belum berkewajiban membayar zakat. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Zakat itu tidak wajib melainkan bagi orang yang mampu.” . Adapun orang yang berutang hingga uangnya yang sisa tidak lagi cukup senishab, maka tidaklah orang ini dikategorikan sebagai orang yang mampu.

Beberapa masalah ;

Harta yang ada dalam kekuasaan seorang dan tidak diketahui pemiliknya secara tertentu.

Harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dan tidak diketahui pemiliknya secara tertentu, maka hukumnya adalah seperti milik penuh yang wajib dizakati, contohnya adalah harta yang ada di tangan para perampas.


Harta yang tercampur (Khulatha’)

Bila ada beberapa orang berkongsi dalam sebuah usaha dan harta milik masing-masing bisa dibedakan maka membayar zakat secara masing-masing, akan tetapi kalau tidak bisa dibedakan maka membayar zakatnya secara bersama-sama.

Harta Gabungan (Syurakaa’)

Zakatnya adalah wajib bagi yang bagiannya sudah sampai nishab dalam satu haul, seperti dalam muzaro’ah misalnya; maka yang punya tanah wajib membayar zakat dari bagian hasil tanamannya sebagaimana yang mengerjakannyapun wajib membayar zakat dari bagiannya, jika sudah sampai nishab dalam satu haul.

2. Cukup Nishab

Nishab artinya harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan syari’at. Maka harta yang belum mencapai jumlah tertentu tersebut tidak wajib dizakatkan. Tentang perincian nishab dari macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, maka akan dirincikan pada penjelasan tersendiri –insya Allah-.
Bila seorang memiliki berbagai macam harta yang terkumpul dalam satu jenis dan masing-masing dari macam-macam harta itu belum sampai nishab maka untuk menyempurnakan nishabnya adalah dengan menggabungkan macam-macam harta yang satu jenis tersebut dan menghitung nominalnya. Misalnya kerbau dengan sapi, kambing dengan biri-biri, dinar dengan dirham, mata uang dengan harta perniagaan.

3. Berkembang (namaa’)

Zakat hanya diwajibkan pada harta yang berkembang yakni bisa bertambah dengan diusahakan. Dan harta yang berkembang ini dibagi menjadi dua macam :
1. Yang berkembang dengan sendirinya seperti binatang ternak dan
tanaman.
2. Yang berkembang dengan berubah dzatnya dan diusahakan seperti
mata uang yang berkembang dengan diniagakan dan yang semisalnya.
Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Al-Wazir berkata: “Telah ijma’ para ulama bahwa tidak ada zakat pada rumah yang ditempati, pakaian yang digunakan, perabot rumah tangga, hamba sahaya, senjata yang biasa digunakan, berdasarkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak wajib atas seorang muslim mengeluarkan zakat atas hamba dan kudanya”. Saya katakan: “Ini adalah contoh batasan zakat, yakni harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali yang dipersiapkan untuk berkembang. Adapun yang tetap, yang tidak mungkin berkembang karena hanya untuk digunakan pemiliknya, maka tidaklah wajib dikeluarkan zakatnya.”.(Taudihul ahkam:3/28)

4. Genap satu tahun (haul).

Disyaratkan untuk wajibnya zakat bahwa harta yang mencapai nishab tersebut bertahan hingga mencapai satu haul (satu tahun), jika harta tersebut berupa emas, perak, mata uang atau binatang ternak. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-:

مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Barangsiapa yang memanfaatkan harta, maka tidak ada zakat baginya sampai genap satu tahun pada pemiliknya.”. (HR. Tirmidzi, no. 572)

Adapun harta yang keluar dari bumi seperti biji-bijian dan buah-buahan, maka zakatnya adalah ketika panen dan tidak disyari’atkan menunggu haul (satu tahun). Firman Allah Ta’ala:

وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ [الأنعام/141]
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dengan membayar zakatnya.”. (Al An’aam : 14)

               Olehnya, barangsiapa memiliki emas yang sudah sampai nishab dan telah berlalu selama satu tahun maka wajib baginya mengeluarkan zakat. Jika seorang memiliki harta yang belum sampai nishab kemudian memiliki yang bisa menyempurnakan nishabnya, maka haulnya dimulai dari ketika ia memiliki harta yang menyempurnakan nishabnya. Jika sampai nishab kemudian beruntung, maka keuntungannya itu dihitung dengan modal dasarnya, tidak perlu dengan haul yang baru.

Perlu diketahui bahwa haul (satu tahun) disini adalah tahun hijriyah. Allah berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ [البقرة/189]
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”.

Masalah:

Bagaimana hukum membayar zakat sebelum tiba haulnya ?.

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka berpandangan bahwa tidak dibenarkan bagi seorang membayar zakat sebelum tiba haulnya karena demikian itulah syarat wajibnya zakat. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Barang siapa yang memanfaatkan harta, maka tidak ada zakat baginya sampai genap satu tahun pada pemiliknya.”. (HR. Tirmidzi, no. 572).

Namun kebanyakan ulama tidaklah memandang kandungan hadits ini sebagai prasayarat bolehnya mengeluarkan zakat. Mereka memandang bahwa kandungan hadits ini menyatakan tentang waktu wajibnya membayar zakat. Hal ini dikuatkan dengan perlakuan Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memungut zakat dari pamannya sebelum tiba haulnya, sebagaimana disebutkan oleh imam Tirmidzi –rahimahullah-:

 أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ
“Abbas bin Abdul Muthalib minta ijin untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum datang haul, maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberinya keringanan untuk melakukannya.”. (HR Tirmidzi, no. 614)

Mengganti jenis harta dipertengahan haul

Jika seorang mengganti nishab satu jenis harta dengan harta yang lain ditengah-tengah hitungan haul, maka tidak memutus (memotong) hitungan haul tersebut, menurut salah satu pendapat ulama. Contohnya kalau membeli dengan mata uang senishab dengan senishab dari binatang ternak, sementara nishab yang pertama (mata uang) belum genap satu haul, maka hitungan haul binatang ternak didasarkan pada haul mata uang.

G. Harta Wajib Zakat

Jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah;

1. Emas dan Perak, dan yang disetarakan dengannya.

a. Perak, nishabnya sebesar 5 auqiyah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat bagi harta berupa perak jika kurang dari 5 auqiyah.”[8]. Satu auqiyyah sebesar 40 dirham, sama dengan 119 gr. Maka 5 auqiyah sebesar 595 gr perak. Tentang ini telah disepakati oleh seluruh ulama ummat. Adapun zakat yang wajib dikeluarkan jika telah mencapai nishab adalah 2,5%, demikian ini –juga- telah menjadi Ijma’ (kesepakatan seluruh ulama Islam).

b. Emas, nishabnya adalah 20 mitsqal atau 20 dinar. Demikian ini madzhab mayoritas ulama.
20 dinar jika dikonversikan ke dalam gram sama dengan 85 gram emas. Adapun kadar yang wajib dikeluarkan dari harta berupa emas yang telah mencapai nishab itu adalah sebanyak 2,5%. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Apabila engkau telah memiliki harta sejumlah 200 dirham dan harta itu telah genap setahun, maka wajib dikeluarkan dari harta tersebut sebesar 5 dirham (2,5% darinya). Dan tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat berupa emas hingga engkau memiliki 20 dinar yang bertahan selama setahun. Maka apabila telah cukup setahun, maka wajib dikeluarkan sebanyak setengah dinar (2,5%). Maka bila harta itu lebih dari yang disebutkan, hendaknya dihitung sebanyak kadar yang disebutkan.”[9]. Nishab emas dan perak yang dimaksud disini adalah emas murni dan perak murni. Untuk jenis emas, maka saat ini adalah 24 Karat.

Contoh: seorang mempunyai harta sebanyak Rp.30.000.000,-, setelah satu tahun putaran, maka dia harus mengeluarkan zakat sebagai berikut:

Rp.30.000.000,- x 251000 = Rp.750.000,-

Masalah :

Bagaimana dengan perhiasan ?

               Telah disinggung pada point terdahulu tentang syarat harta yang wajib untuk dizakati. Dan disebutkan bahwa salah satu dari syarat tersebut adalah nama’ (harta itu adalah harta yang berkembang). Lantas bagaimana dengan emas atau perak yang hanya diperuntukkan sebagai perhiasan, dan bukan untuk diperjaualbelikan?.
                Tentang emas dan perak yang hanya digunakan sebagai perhiasan, maka ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mengeluarkan zakatnya:
*) Sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat perhiasan. Diantara alasannya adalah beberapa riwayat dari sahabat, diantaranya adalah Jabir, Aisyah, Ibnu Umar dan Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhum- :
ليس في الحلي زكاة
“Tidak ada kewajiban zakat bagi harta yang disiapkan untuk perhiasan.”[10]. Hanya saja, pandangan demikian bukanlah sesuatu yang disepakati oleh para shahabat lainnya. Diantara sahabat yang berpandangan lain adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Abdullah bin ‘Amr[11]. Maka karena adanya perbedaan pandang dikalangan para sahabat berkenaan dengan masalah ini, kiranya perlulah masalahnya dikembalikan kepada penegasan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-[12] sendiri. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ [التوبة/34]
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”. (at Taubah; 34). Ayat ini secara tekstual menyatakan bahwa apa saja harta berupa emas dan perak, jika telah sampai nishab dan haulnya, dan tidak dikeluarkan zakatnya, maka harta itu masuk dalam kategori harta timbunan. Tidak ada pemilahan antara emas atau perak yang digunakan sebagai perhiasan atau untuk kepentingan lainnya. Keumuman ini dipertegas lagi dengan riwayat Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha-, Beliau berkata:

كُنْتُ أَلْبَسُ أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكَنْزٌ هُوَ فَقَالَ مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
“Pernah saya mengenakan beberapa perhiasan yang terbuat dari emas. Maka saya bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Apakah ini –pun masuk dalam kategori harta yang ditimbun ?.”. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda; jika dikeluarkan zakatnya ketika tiba masa wajibnya, maka tidaklah ia tergolong sebagai harta timbunan.”[13]. Abdullah bin Syaddaad berkata:

دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى فِي يَدَيَّ فَتَخَاتٍ مِنْ وَرِقٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ فَقُلْتُ صَنَعْتُهُنَّ أَتَزَيَّنُ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَتُؤَدِّينَ زَكَاتَهُنَّ قُلْتُ لَا أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ هُوَ حَسْبُكِ مِنْ النَّارِ
“Kami pernah masuk menemui Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, Beliau berkata; pernah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- masuk menemuiku. Ketika itu, Beliau melihatku mengenakan cincin dari perak. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata; apa ini wahai Aisyah ?. Saya berkata; saya membuatnya untuk berhias dihadapanmu wahai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya; apakah engkau telah mengeluarkan zakatnya ?. Saya berkata; tidak. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda; cukuplah itu yang akan menyebabkan engkau merasakan api neraka.”[14].

                Maka berdasarkan keterangan-keterangan yang telah disebutkan, dinyatakan bahwa pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa wajib mengeluarkan zakat perhiasan. Adapun ketentuannya, maka sama dengan zakat emas atau perak.

Hukum zakat profesi

               Istilah zakat profesi adalah sebuah peristilahan baru yang tidak dikenal sebelumnya. Menurut golongan yang membenarkan adanya zakat profesi bahwa seorang yang menerima gaji dan dikalkulasikan jumlahnya selama satu haul (tahun) dapat mencapai nishab, tidak perlu menunggu haul. Namun langsung wajib membayarnya setiap penerimaan gaji –dikiaskan dengan zakat biji-bijian-, dengan besaran 2,5 % -dikiaskan dengan zakat harta-.
                Disamping itu, mereka menetapkan kewajiban zakat profesi ini –juga- berdasarkan dalil aqli bahwa mengapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, para eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya. Adapun simulasi cara perhitungan zakat profesi menurut golongan yang menganutnya adalah:

Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan), misalnya:

Gaji sebulan == Rp 2.000.000
Gaji setahun == Rp 24.000.000
1 gram emas == Rp 100.000
Nishab == Rp 85 gram
Harga nishab == Rp 8.500.000
Zakat Anda == 2,5% x Rp 24.000.000 == Rp 600.000,-

Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan == Rp 2.000.000
Gaji setahun == Rp 24.000.000
Pengeluaran bulanan == Rp 1.000.000
Pengeluaran setahun == Rp 12.000.000
Sisa pengeluaran setahun == Rp 24.000.000 – 12.000.000 == Rp 12.000.000
1 gram emas == Rp 100.000
Nishab == Rp 85 gram
Harga nishab == Rp 8.500.000
Zakat Anda == 2,5% x Rp 12.000.000 == Rp 300.000,-

                Demikian beberapa hal berkenaan dengan pendapat sebagian ulama yang menyatakan diwajibkannya membayar zakat profesi dan kaidah pembayarannya. Maka berdasarkan pendapat ini dinyatakan bahwa seorang yang –misalnya- mendapat arisan senilai satu nishab, maka wajib mengeluarkan zakatnya, tanpa harus menunggu satu haul; demikian pula orang yang mendapat warisan senilai satu nishab, juga wajib mengeluarkan zakatnya, tanpa menanti satu haul.
                 Adapun golongan yang tidak sependapat dengan golongan ini menyatakan bahwa kaidah umum syar’I sejak dahulu berkenaan dengan zakat harta –dari manapun sumbernya; apakah dari warisan, hadiah, kontrakan, gaji, dan yang lainnya- bahwa syarat wajibnya mengeluarkan zakat tersebut yaitu bila telah terpenuhi dua kriteria, yaitu : sampai nishab dan sampai haul (putaran satu tahun). Bila tidak mencapai batas minimal nishab dalam satu haul, maka zakat tidaklah wajib. Rasulullah –shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Zakat itu tidak wajib kecuali telah genap satu tahun.”[15].

                Adapun zakat profesi, maka dua syarat wajibnya mengeluarkan zakat tersebut tidaklah terpenuhi, dimana harta yang dimiliki oleh orang tersebut belum sampai nishab dalam satu haul. Dengan kata lain bahwa zakat profesi ini adalah zakat tanpa haul dan tanpa nishab. Sementara penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun). Dan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada zakat biji-bijian dan buah-buahan, namun penetapannya –pun berdasarkan nishab tertentu setiap kali panen. Olehnya itu maka penetapan wajibnya membayar zakat profesi adalah penetapan yang tidak berlandaskan pada dalil-dalil yang kuat.
                 Hal lain bahwa di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun ada profesi. Namun tidak sedikitpun keterangan yang menyatakan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memungut zakat profesi.
                Selanjutnya, kias zakat profesi dengan zakat biji-bijian dan buah-buahan adalah kias yang tidak tepat karena beberapa hal, diantaranya karena kias ini tidak konsukwen; dimana pengqiasan waktu wajibnya berdasarkan pada zakat biji-bijian itu (setiap kali panen – setiap bulan), sementara kadar wajibnya dikiaskan pada zakat harta (2,5 %) dan bukan dikiaskan pada zakat biji-bijian (5 atau 10%). Kemudian mungkin ada pertanyaan; bagaimana dengan seorang yang menerima gaji setiap hari atau setiap minggu; wajibkah ia mengeluarkan zakat penghasilannya setiap kali gajian (dikiaskan dengan setiap kali panen) ?.
                 Selanjutnya, penetapan wajibnya mengeluarkan zakat profesi akan menyulitkan manusia. Dinyatakan demikian karena seorang yang memiliki harta dibolehkan untuk mempergunakan hartanya itu;
1. Baik dengan membelanjakannya dijalan yang halal untuk keluarganya,
2. atau mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya, mudharabah dll)
3. atau mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya.
4. atau menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya.
5 atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya).

               Bertolak dari uraian tersebut, maka menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat profesi, sedikit tidaknya –tentu- akan menjadi batu sandungan bagi mereka yang ingin memanfaatkan hartanya dengan berbagai pemanfaatan yang telah disebutkan, sementara ia wajib menyisihkan bagian dari hartanya untuk dikeluarkan –sedangkan- pengeluaran itu belum wajib baginya.

              Hal ini akan lebih terasa lagi dengan bertambahnya beban tanggungan setiap bulan –misalnya-. Adanya biaya-biaya yang tidak terduga. Kondisi perekonomian yang tidak menentu. Terjadi PHK besar-besaran, dll. Tentu hal ini semua akan mempertegas betapa zakat profesi ini akan memberatkan manusia yang belum memiliki kesanggupan untuk berzakat, lantas ia telah dibebankan untuk mengeluarkan zakat tersebut. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Zakat itu tidak wajib melainkan bagi orang yang mampu.”[16].

              Adapun bila dikatakan bahwa mengapa hanya petani-petani yang diperintahkan untuk mengeluarkan zakatnya setiap kali panen sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya ?.
              Maka dikatakan bahwa hujjah (alasan) ini tidaklah benar untuk dilontarkan. Yang demikian ini karena masalah ibadah sifatnya tauqifiyyah, yaitu harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih. Dengan demikian hukum-hukum itu tidaklah boleh diintervensi, karena Allah memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya. Allah berirman;

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ [الأنبياء : 23]
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”. (al Anbiyaa’; 23).

                 Kalau sekiranya masalah-masalah ibadah –pun harus diintervensi dengan akal, maka akan begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang kemudian akan dilontarkan berkenaan dengan masalah peribadatan atau masalah agama lainnya yang telah baku. Misalnya; “Mengapa warisan untuk wanita lebih rendah?”, “Mengapa ketika seorang mengeluarkan air seni yang najis hanya disucikan dengan mencuci kemaluan, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi janabah?”, “Mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas pergelangan, sedangkan orang yang telah menikah harus dirajam, bukannya dipotong alat vitalnya?”, dan masih banyak lagi hal yang akan kita tanyakan, dan selanjutnya akan menghalangi seorang dari hukum Allah, bila semuanya dilandaskan –semata- pada kemampuan nalar seseorang.

              Olehnya, berdasarkan keterangan-keterangan yang disebutkan, maka pendapat yang lebih tepat –wallahu a’lam- adalah yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat profesi dalam Islam. Adapun bila seorang yang telah memiliki nishab, ingin menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum tiba haulnya, maka yang demikian tidaklah mengapa, namun hal itu bukanlah merupakan kewajiban. Hal ini didasarkan oleh perlakuan Nabi ––shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memungut zakat dari pamannya sebelum tiba haulnya, sebagaimana disebutkan oleh imam Tirmidzi –rahimahullah-:

 أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ
“Abbas bin Abdul Muthalib minta ijin untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum datang haul, maka Rasulullah memberinya keringanan untuk melakukannya.”. (HR Tirmidzi, no. 614)


Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat (Mustahik Zakat)

Mustahiq zakat ada delapan golongan, sebagaimana firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة/60]
“Sesungguhnya zakat itu bagi orang-orang fakir miskin dan mengurusinya serta orang yang sedang ditundukkan hatinya, budak-budak orang yang punya hutang dan yang yang berjuang dijalan Allah serta ibnu sabil kewajiban dari Allah dan Allah Maha Tahu dan Bijaksana.”. (at Taubah; 60). Demikianlah -secara umum- golongan orang-orang yang berhak menerima zakat, ada delapan golongan, yaitu:
  1. Fakir dan miskin.
  2. Amil zakat (pengurus zakat).
  3. Orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya.
  4. Budak (hamba sahaya).
  5. Gharimun (orang-orang yang berutang dan tidak sanggup melunasi utangnya).
  6. Orang yang berjihad dijalan Allah.
  7. Ibnu Sabil
Adapun rinciannya, maka adalah sebagai berikut:
  1. 1.      Fakir & Miskin
Mereka adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhan primernya, beserta istri, anak dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Tidak ada perbedaan antara faqir dan miskin dalam masalah kebutuhan dan kemiskinan serta dari sisi keberhakan menerima zakat. Namun secara detail sebagian ulama menyatakan adanya perbedaan spesifik antara keduanya. Sebagian mereka menyatakan bahwa tingkat kemiskinan seorang fakir adalah lebih bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan seorang miskin. Bila seorang miskin masih memiliki harta, hanya saja harta itu tidak mencukupi kebutuhan primernya bersama dengan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, maka orang fakir adalah seorang yang tidaklah memiliki harta sama sekali[17]. Diantara dalilnya adalah firman Allah:

أَمَّا السفينة فَكَانَتْ لمساكين [ الكهف : 79 ]
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin …”. (al Kahfi; 79). Didalam ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang miskin itu memiliki perahu, mengisyaratkan bahwa mereka –masih- memiliki harta. Adapun orang-orang fakir, maka tingkat kemiskinannya lebih parah dari mereka, yang tergambar dari doa Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kefakiran.”[18]. Dalam kesempatan lain, Beliau ––shallallahu ‘alaihi wasallam- berdoa:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ
“Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama golongan orang-orang miskin.[19]“, maksudnya adalah orang miskin yang taat beribadah kepada Allah. Maka dari doa ini ada isyarat bahwa yang dimaksud dengan miskin bukanlah fakir (tidak memiliki sedikitpun harta). Mendengar doa ini, Aisyah ––radhiyallahu ‘anha- bertanya, mengapa Beliau ––shallallahu ‘alaihi wasallam- berdoa demikian. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا يَا عَائِشَةُ لَا تَرُدِّي الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ أَحِبِّي الْمَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang-orang fakir akan masuk ke dalam surga 40 tahun lebih dahulu daripada orang-orang kaya dari kalangan mereka. Wahai Aisyah, janganlah engkau menolak orang-orang miskin, meskipun engkau hanya memberikan sepotong kurma. Wahai Aisyah, cintailah orang-orang miskin, dan dekatkanlah mereka, karena sesungguhnya Allah akan mendekatkan engkau (dengan-Nya) di hari kiamat.”[20]. Abdullah bin Umar ––radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

اشْتَكَى فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ عَلَيْهِمْ أَغْنِيَاءَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْفُقَرَاءِ أَلَا أُبَشِّرُكُمْ أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُؤْمِنِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ
“Orang-orang fakir dari kalangan muhajirin pernah mengeluh kepada Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- akan kelebihan harta (duniawi) yang Allah berikan kepada saudara-saudara mereka. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: wahai sekalian orang fakir, maukah kalian aku beritahu sebuah kabar gembira?. Sesungguhnya orang-orang fakir yang beriman akan masuk ke dalam surga setengah hari (yang setara dengan 500 tahun di dunia) lebih dahulu daripada orang-orang kaya dari kalangan mereka.”[21].

2.  Amil zakat (pengurus zakat)
    Mereka adalah orang yang diangkat oleh imam atau wakilnya, untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya, dan termasuk juga didalamnya para penjaga dan seluruh orang yang terlibat dalam pengelolahan zakat tersebut.

    3.  Orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya.
      Mereka adalah orang-orang yang ingin dilunakkan hatinya karena beberapa sebab, yaitu:
      a. Ingin dilunakkan hatinya agar masuk memeluk Islam. Mereka ini adalah orang-orang kafir yang diharapkan luluh hatinya memeluk Islam dengan pemberian zakat tersebut kepadanya. Bilamana zakat itu diberikan kepada orang miskin untuk menyelamatkan kehidupannya di dunia, maka memberikan zakat itu kepada seseorang untuk menyelamatkan dunia dan akhiratnya adalah lebih utama. Olehnya itu, maka disyari’atkan untuk memberikan zakat kepada mereka.

      b. Ingin dilunakkan hatinya agar tidak mengganggu atau menyakiti kaum muslimin. Terhadap golongan ini, zakat diberikan kepada mereka bilamana pemerintahan kaum muslimin belum mampu untuk mengatasi kejahatan mereka dengan kekuatan. Namun bila pemerintahan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yang cukup untuk menghentikan kejahatan mereka, maka ketika itu tidak boleh menyerahkan zakat kepada mereka, karena sebab (illat) disyari’atkannya pemberian zakat itu kepada mereka telah lenyap.

      c. Ingin dilunakkan hatinya agar keimanannya kokoh dan dapat menjadi baik. Golongan ini adalah kelompok orang-orang muslim yang lemah iman dan diharapkan dengan pemberian zakat kepada mereka, akanlah mereka lebih memperbaiki kondisi keimanannya kepada Allah.

      Intinya bahwa golongan orang-orang yang ingin dilunakkan hatinya ini terdiri dari kalangan muslim –sendiri- yaitu orang-orang yang lemah keimanannya dan diharapkan kebaikan darinya dengan pemberian zakat itu kepadanya; atau mereka itu adalah orang-orang kafir yang diharapkan keislamannya; atau mereka itu adalah orang-orang yang gemar memberi kemudharatan kepada kaum muslimin sedang pemerintahan Islam belum sanggup untuk mengatasi kejahatan mereka. Adapun sebab disyari’atkannya pemberian zakat kepada mereka adalah karena adanya maslahat yang ingin diraih dari hal tersebut. Sa’ad –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

      قسم النبي صلى الله عليه وسلم قسمة ، فأعطى رجلا ولم يعط الآخر ، فقيل يا رسول الله ، أعطيت فلانا وهو مؤمن ، وتركت فلانا وهو مؤمن – قال : أو مسلم ؟ قال : « إني لأعطي أقواما ، وأدع أقواما مخافة أن يكبهم الله على وجوههم في النار.
      “Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah membagi zakat; Beliau memberikannya kepada seorang dan tidak memberikannya kepada yang lain. Maka ditanyakan kepada Beliau; engkau memberikan harta itu kepada Fulan dan tidak membagikannya kepada si Fulan padahal keduanya adalah mukmin atau muslim (mengapa ?). Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda; sungguh saya akan memberikannya kepada seorang dan tidak memberikannya kepada yang lain karena khawatir bahwa Allah akan mencampakkan (orang yang saya berikan itu) ke dalam api neraka.” [22]. Dalam riwayat Bukhari –rahimahullah- dikatakan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepada Sa’d:

      يَا سَعْدُ إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ
      “Wahai Sa’ad, sungguh saya benar-benar akan memberikan harta ini kepada seorang padahal saya lebih mencintai yang selainnya, (semata) untuk menyelamatkannya (orang yang diberikan zakat itu kepadanya) dari api neraka.” [23].

      4.  Budak (Hamba sahaya)
        Yang dimaksud dengan golongan ini adalah mukaatab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya akan membebaskannya setelah membayar dirinya). Maka golongan ini ditolong untuk membebaskan dirinya dengan uang zakat (shadaqah). Dari Abu Hurairah ––radhiyallahu ‘anhu-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
        ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
        “Tiga golongan yang akan ditolong oleh Allah : mujahid yang berperang di jalan Allah, mukaatab yang ingin menunaikan perjanjiannya, orang yang menikah mengharapkan menjaga kehormatannya.”[24].

        5.   Gharimun
          Mereka itu adalah orang yang menanggung hutang dan tidak mampu membayarnya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
          مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
          “Barangsiapa meminjam harta seorang dengan niat akan menggantinya, niscaya Allah akan (membantunya) melunasinya. Namun barangsiapa yang meminjamnya dengan niat tidak akan menggantinya, pastilah Allah akan membinasakannya.” [25].

          6.   Orang yang berjihad dijalan Allah.
            Jumhur ulama menyatakan, maksudnya adalah orang-orang yang sedang berjihad, mereka itu adalah para mujahidin, apakah ia adalah orang kaya ataupun miskin. Dalam satu riwayat disebutkan:

            لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
            “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya kecuali lima golongan, -diantaranya-; orang kaya yang ikut berjihad dijalan Allah.”[26].

            7.   Ibnu Sabil
              Para ulama telah sepakat bahwa seorang yang terputus perjalanan dari negerinya, berhak diberi bagian shadaqah (zakat), untuk membantu mewujudkan tujuannya. Para ulama mensyaratkan safarnya adalah untuk ketaatan bukan untuk maksiat.

              Masalah : 

              Bolehkah memberikan zakat kepada satu golongan mustahik saja ?.

              Jawaban; Ya boleh, berdasarkan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Mu’adz bin Jabal ––radhiyallahu ‘anhu- ketika mengutusnya ke negeri Yaman:

              … أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
              ” … sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan orang kaya dari kalangan mereka untuk memberikan zakat kepada golongan fakir dari mereka.”[27]. Dari hadits ini diketahui bahwa seorang boleh saja memberikan zakatnya kepada satu golongan saja dari mereka.

              Masalah:

              Bolehkah menyalurkan zakat untuk pembangunan mesjid atau kepentingan yang semisal dengan itu?.

              Jawaban: Ulama berbeda pandang dalam menanggapi permasalahan ini –sedikitnya- ke dalam tiga pandangan. Akar masalahnya adalah perbedaan persepsi yang timbul dikalangan mereka tentang pengertian “Sabiilullaah” (jalan Allah) yang terdapat dalam firman Allah ta’ala;

              إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(60)
              “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”. (At-taubah; 60).

                             Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala yang tersebut dalam surat At-taubah adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah ta’ala, karena demikianlah asal penunjukannya dalam ayat zakat tersebut.
              Pendapat kedua dalam masalah ini menyatakan bahwa termasuk dalam kategori “fi sabilillah” selain para pejuang yaitu; orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah, berdasarkan hadits Bukhari –rahimahullah- secara mu’allaq dari Abi Laas ––radhiyallahu ‘anhu-:

              حَمَلَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ لِلْحَجِّ

              ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengantar kami dengan menggunakan unta zakat yang diperuntukkan kepada seorang jemaah haji.”[28].

                                Pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih umum; tidak membatasi pemberian zakat hanya kepada dua kelompok yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi diperuntukkan kepada seluruh jenis kebaikan, juga kepada hakim, mufti, pengajar, dll. Sayyid Quthub –rahimahullah- berkata;

              وذلك باب واسع يشمل كل مصلحة للجماعة ، تحقق كلمة الله .
              “Kata “fi sabilillah” merupakan bab yang sangat luas, melingkupi seluruh hal yang dapat mendatangkan kebaikan bagi komunitas muslim dalam rangka tegaknya kalimat Allah ta’ala.”[29]. Tentunya yang menempati skala paling prioriotas dalam masalah ini adalah pengadaan segala sarana dan prasarana jihad, mempersiapkan kader-kader mumpuni dan mengadakan pelatihan-pelatihan secara intensif kepada mereka, pengiriman da’i serta pendirian sekolah-sekolah yang mengajarkan islam secara benar kepada mereka. Syaikh Al-mubarakfuri –rahimahullah- berkata:

              وقيل : إِنِ اللَّفْظَ عَامٌّ فَلَا يَجُوزُ قَصْرُهُ عَلَى نَوْعٍ خَاصٍّ ، وَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ وُجُوهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِينِ الْمَوْتَى وَبِنَاءِ الْجُسُورِ وَالْحُصُونِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
              “Disebutkan dalam sebuah pandangan; kata “fi sabilillah” adalah kata yang memiliki pengertian umum, tidak dibenarkan untuk mengkhusukan pengertiannya. Karenanya, makna dari kata ini meliputi seluruh jenis kebaikan, seperti; pengadaan kain kafan bagi orang-orang yang meninggal, pembangunan jembatan, tembok pembatas (wilayah), pembanganan mesjid, dst.”[30].

                                Namun dari ketiga pendapat yang telah disebutkan –wallahu a’lam- pendapat jumhurlah yang paling kuat. Dasar penarikan kesimpulan ini adalah; maksud diturunkannya ayat tentang pembagian zakat adalah membatasi kelompok orang yang berhak menerima zakat. Bila tidak dibatasi, niscaya seluruh manusia -juga- berhak mendapatkan bahagian mereka dari harta zakat -tentunya hal ini adalah suatu hal yang tidak logis-. Karenanya, membawa pengertian “sabilullah” dalam ayat ini kepada pengertian umum adalah suatu yang bertolak belakang dengan maksud diturunkannya ayat ini.

              Orang-orang yang Diharamkan Menerima Zakat

              Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah. Ada juga golongan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat. Mereka itu adalah:

              1. Orang-orang kafir dan mulhid.

              Dalam hadits Muadz ––radhiyallahu ‘anhu- tentang wasiat Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- kepadanya ketika Beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

              أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
              “Beritakanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat harta mereka, yang diambil dari orang kaya mereka dan di bagikan kepada orang miskinnya.”[31], maksudnya bahwa zakat itu diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang muslim.

              2. Keluarga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

              Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
              إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
              “Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia.”[32]. Dan pernyataan Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- sesuai dengan firman Allah –wallahu a’lam-:

              خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
              “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”. (at Taubah; 103). Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

              أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ فَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ أَكَلَ مِنْهَا وَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ لَمْ يَأْكُلْ مِنْهَا
              “Bilamana Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- diberikan makanan, maka Beliau akan bertanya perihal makanan itu. Bila dikatakan bahwa makanan itu adalah hadiah, maka hadiah itu pun diterimanya. Tetapi bila dikatakan bahwa makanan itu adalah zakat, maka Beliau tidak memakannya.”[33].

              Masalah:

              Bagaimana hukum menyalurkan zakat kepada karib kerabat ?

              Menyalurkan zakat kepada kerabat yang masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat adalah hal yang lebih utama, berdasarkan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-:

              الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الْقَرَابَةِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
              “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah bernilai sedekah, dan yang diberikan kepada orang yang merupakan kerabat selain bernilai sedekah –pun bernilai silaturrahim.”[34].

                              Namun bila kerabat yang dimaksud adalah orang-orang yang wajib dinafkahi oleh seorang yang berkecukupan, yaitu orang tua atau anak, maka –secara global- tidak boleh memberikan zakat kepada mereka karena beberapa sebab, diantaranya:
              1. Secara asal anak yang berkecukupan atau orang tua yang berkecukupan wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya yang miskin atau anaknya yang fakir. Olehnya memberikan zakat kepada mereka untuk lari dari tanggungjawab memberikan nafkah kepadanya adalah hal yang tidak dibenarkan, masuk dalam kategori “hiilah” (mengakal-akali aturan Allah).
              2. Memberikan zakat kepada orang-orang yang wajib untuk dinafkahi tidak ubahnya ibarat seorang yang memberi zakat dengan tangan kanannya untuk kembali ia terima dengan tangan kirinya. Dinyatakan demikian karena harta anak –pun adalah harta orang tua; demikian juga anak, adalah bagian dari orang tuanya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada seorang yang datang mengadu akan perlakuan ayahnya yang ingin mengambil hartanya;
              أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
              “Engkau dan hartamu adalah kepunyaan ayahmu.”[35]. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tentang Fathimah (putri Beliau):
              فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِي
              “Fathimah adalah bagian dari diriku (darah dagingku). Maka barangsiapa yang membuatnya marah, sungguh ia telah –juga- membuatku marah.”[36].

              Dikecualikan dari keumuman hukum ini beberapa hal yaitu:
              1. Bila zakat tersebut diserahkan kepada badan amil zakat, dan kemudian badan amil tersebut –ternyata- menyalurkannya kepada orangtua atau anaknya, maka dalam keadaan ini kewajiban orang tersebut dalam menunaikan zakat telah lepas dan dinyatakan sah, yang selanjutnya pendistribusannya tidak lagi berada dalam kewenangannya.
              2. Bila zakat yang diberikan itu tidak berkenaan dengan kemiskinan sang ayah atau anak. Misalnya karena ia adalah seorang amil zakat, atau ia adalah seorang mujahid fi sabilillah. Maka jika sang anak atau ayah masuk kedalam golongan orang yang berhak menerima zakat karena selain sebab kemiskinan, ketika itu tidak mengapa memberikan zakat kepada mereka.
              3. Termasuk yang dikecualikan adalah bila zakat tersebut diberikan untuk melunasi utang sang ayah atau sang anak. Maka dalam keadaan ini, tidak mengapa memberikan zakat kepada mereka, karena seorang tidaklah diwajibkan untuk melunasi utang sang ayah atau anaknya.
              Selanjutnya,
              Seluruh yang telah dinyatakan ini, –pun dinyatakan berkenaan dengan hukum memberikan zakat kepada istri, yaitu tidak diperbolehkan bagi seorang untuk memberikan zakat kepada istrinya sendiri, karena hal itu berarti mengakal-akali syariat Allah agar lepas dari kewajiban-kewajiban agama.
                                  Adapun seorang istri kepada suaminya, maka tidak mengapa bila seorang istri memberikan zakatnya kepada suaminya yang miskin; karena sang istri tidaklah berkewajiban untuk menafkahi suaminya, bahkan meskipun sang istri itu adalah orang yang berlimpah kekayaannya. Tetapi sebaliknya suami, ia tetaplah berkewajiban menafkahi istrinya, meski ia adalah seorang yang paling miskin di dunia ini. Hal inilah yang ditunjukkan oleh hadits Zainab -radhiyallahu ‘anha-, pernah Beliau bersama seorang wanita anshar pergi bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan perantara Bilal -radhiyallahu ‘anhu- tentang hukum memberi zakat kepada suami mereka yang miskin. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;

              لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
              “Mereka berdua akan mendapatkan pahala menyambung kekerabatan dan pahala zakat yang mereka keluarkan.”[37].

              Demikian beberapa hukum berkenaan dengan zakat. Dan tersisa pembahasan tentang jenis-jenis harta lain yang wajib dikeluarkan zakatnya, seperti; tanaman dan buah-buahan, hewan, dan lain-lain, insya Allah pada bahasan selanjutnya. Wallahu al muwaffiq ilaa sabiili ar rasyaad wa huwa hasbuna wa ni’ma al wakiil. wal hamdulillah Rabbi al ‘aalamiin.

              [1] Fathu al Baari, (3/262)
              [2] HR. Bukhari, no. 8
              [3] HR. Muslim, no. 1647
              [4] Lisaan al ‘Arab, (14/358)
              [5] Fathu al Baari, (3/262)
              [6] HR. Tirmidzi, no. 4689
              [7] Subulu as Salaam, (2/120)
              [8] HR. Bukhari, no. 1317
              [9] HR. Abu Daud, no. 1575
              [10] Sunan Tirmidzi, (3/32)
              [11] Lihat “Al Mughni”, (5/375)
              [12] Lihat “Syarhu Zaad al Mustaqni’e”, oleh al Hamd bin Abdullah al Hamd, (9/103)
              [13] HR. Abu Daud, no. 1337
              [14] HR. Abu Daud, no. 1338
              [15] HR. Abu Daud, no. 1342
              [16] HR. Bukhari, (9/285)
              [17] Lihat “Fathu al Qadiir”, oleh imam Syaukaani, (3/271)
              [18] HR. Abu Daud, no. 1320
              [19] HR. Ibnu Majah, no. 4116
              [20] HR. Tirmidzi, no. 2275
              [21] HR. Ibnu Majah, no. 4114. Lihat juga “Shahiih wa Dhaif al Jaami’e as Shaghiir” oleh syaikh al Baani, no. 13936
              [22] HR. at Thabari, di dalam “Tahdziibu al Atsaar”, no. 2020
              [23] HR. Bukhari, no. 26
              [24] HR. Tirmidzi, no. 1579
              [25] HR. Bukhari, no. 2212
              [26] HR. Abu Daud, no. 1393
              [27] HR. Bukhari, no. 1308
              [28] HR. Bukhari, (5/315)
              [29] Fi Dzhilaali al Quran, (4/43)
              [30] Abhaats Hayati Kibaari al Ulamaa, (1/129)
              [31] HR. Bukhari, no. 1308
              [32] HR. Muslim, no. 1784
              [33] HR. Muslim, no. 1790
              [34] HR. Ibnu Majah, no. 1834
              [35] HR. Ibnu Majah, no. 2282
              [36] HR. Bukhari, no. 3437
              [37] HR. Muslim, (3/80)

              0 Comments:

              Post a Comment