Jumat, 09 September 2011

Zakat Fithri

Bulan Ramadhan adalah bulan bertabur berkah. Salah satu keberkahannya bahwa di bulan itu Allah membelenggu para pembesar syaithan hingga mereka tidak akan seleluasa waktu-waktu lain dalam menggoda dan menggelincirkan manusia. Namun demikian, tidak berarti bahwa manusia dapat aman secara sempurna dari gangguan dan godaannya. Bahkan ternyata tidak sedikit dari kaum muslimin yang masih saja –disadari atau tidak- melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan nilai puasanya di sisi Allah. Maka untuk menutupi kekurangan tersebut, yang sekaligus kembali menunjukkan berkah Allah di bulan mulia ini, adalah ketika Allah syari’atkan zakat fithri sebagai bagian dari puasa Ramadhan untuk menyempurnakan dan memperbaiki kualitasnya di sisi Allah.

Mengapa dinamakan Zakat Fithri ?

Jenis zakat ini dinamakan zakat fithri sebagai bentuk penisbahan kepada waktu wajib dikeluarkannya zakat tersebut, yaitu ketika matahari telah tenggelam di akhir bulan Ramadhan, pada waktu dimana orang-orang telah berifthar (berbuka)[1]. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Zakat fithri dari Ramadhan.[2]“, maksudnya bahwa zakat fithri itu wajib ketika tiba waktu berbuka (fithri) di akhir bulan Ramadhan[3].

Selain itu ada juga yang menamakannya zakat fithrah. Fithrah sendiri berarti asal penciptaan (jiwa). Ibnu Qutaibah -rahimahullah- berkata;

المراد بصدقة الفطر صدقة النفوس مأخوذ من الفطرة التي هي أصل الخلقة

“Yang dimaksud dengan zakat fithri adalah zakat jiwa, al-fithri diambil dari asal kata al-fithrah yang maknanya adalah asal penciptaan manusia.”[4]. Maksud penamaan ini untuk mengisyaratkan bahwa jenis zakat ini adalah zakat jiwa (badan) dan tidak berkaitan dengan harta.

Hukum Zakat Fithri

Zakat fithri adalah sebuah ibadah wajib berdasarkan pernyataan Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- ;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ .

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fithri sebesar satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum. Diwajibkan atas kaum muslimin baik dari golongan orang merdeka atau budak, laki-laki dan perempuan, serta anak kecil dan orang dewasa. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh mengeluarkan zakat tersebut sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat I’ed.”[5].
Selain itu ada pula diantara ulama yang menyatakan bahwa kewajiban tersebut telah mansukh (dihapus) dengan riwayat dari Qais bin Sa’ad -radhiyallahu ‘anhu-;

أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم بصدقة الفطر قبل أن تنزل الزكاة فلما نزلت الزكاة لم يأمرنا و لم ينهنا و نحن نفعله

“Pernah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kami mengeluarkan zakat fithri sebelum turunnya kewajiban mengeluarkan zakat. Namun setelah diwajibkannya zakat, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak lagi menyuruh kami dan tidak pula melarang kami mengeluarkannya. Namun kami –tetap- mengeluarkannya.”[6].

Dari kedua pendapat ini, pendapat pertamalah yang lebih tepat, berdasarkan dzhahir dari pernyataan Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu- ;
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memfardhukan zakat fithri”, maknanya adalah mewajibkan. Adapun riwayat Qais yang dibawakan oleh kelompok kedua, maka tidaklah menyatakan gugurnya kewajiban zakat fithri, karena mungkin dinyatakan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak lagi memerintahkan para sahabat mengeluarkan zakat fithri ketika kewajiban Zakat telah diturunkan sebab kewajiban mengeluarkan zakat fithri tersebut telah dipahami oleh para sahabat dengan adanya perintah sebelum turunnya kewajiban mengeluarkan zakat (harta). Olehnya disebutkan dalam riwayat Qais tersebut bahwa para sahabat tetap mengeluarkannya[7].

Menguatkan disyari’atkannya ibadah ini adalah firman Allah;

{قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15)} [الأعلى: 14، 15]

Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata dalam salah satu penafsirannya terhadap ayat ini;

قد أفلح فاز ونجا من تزكى من تصدق بصدقة الفطر قبل خروجه إلى المصلى وذكر اسم ربه هلله وكبره في الذهاب والمجيء فصلى صلاة العيد مع الإمام

“Sesungguhnya beruntung dan selamatlah orang yang membersihkan dirinya dengan mengeluarkan zakat fithri sebelum keluar melaksanakan shalat I’ed. Selanjutnya dia ingat nama Tuhannya dengan bertahlil dan bertakbir ketika keluar melaksanakan shalat I’ed. Setelahnya dia melaksanakan shalat I’ed bersama imam.”[8].

Siapa yang wajib mengeluarkan zakat Fithri ?

Zakat fithri adalah sebuah ibadah yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memiliki kelebihan bahan makanan pokok untuk seukuran satu hari, seukuran biaya makan seluruh orang yang wajib ia nafkahi.
Ia wajib mengeluarkannya untuk dirinya dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya. Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- ;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

“Rasulullah mewajibkan zakat fithri sebesar satu sha’ kurma masak atau gandum, diwajibkan atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, orang dewasa, anak-anak, dari kalangan muslimin.”[9]. Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, Beliau berkata;

أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم بصدقة الفطر عن الصغير والكبير والحر والعبد ممن تمونون

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan mengambil zakat fithri dari anak kecil dan dari orang dewasa, dari orang merdeka dan dari hamba sahaya, dan dari orang-orang yang kalian nafkahi.”[10].

Siapa saja yang masuk dalam kelompok orang yang wajib ditanggung oleh seseorang ?

Masuk dalam kelompok orang yang berada dalam tanggungan seorang adalah anak-anaknya yang masih kecil, pembantunya, anak-anaknya yang dewasa jika mereka gila, namun jika tidak gila maka mereka berzakat sendiri.
Imam Malik, Syafii, Laits, Ahmad, Ishaq mengatakan:
تجب على زوجها تبعاً للنفقة
“Wajib atas suami menzakati istrinya sebagai konsekuensi kewajiban menafkahinya.”[11].

Kapan zakat itu menjadi wajib bagi seorang ?

Zakat fithri itu menjadi wajib karena sebab tertentu yaitu tibanya masa waktu berbuka (fithri), seiring dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Olehnya barangsiapa mendapati Ramadhan walau sesaat dan tetap hidup hingga masuknya awal bulan syawwal, ketika matahari telah terbenam di akhir bulan Ramadhan, maka wajiblah atasnya mengeluarkan zakat fithri. Namun barangsiapa meninggal beberapa menit sebelum terbenamnya matahari diakhir bulan Ramadhan, maka tidaklah wajib atasnya zakat fithri.  Zakat fithri juga wajib atas orang yang baru masuk Islam beberapa saat sebelum Maghrib akhir Ramadhan. Tetapi jika ia masuk Islam setelah maghrib akhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib atasnya mengeluarkan zakat fithri. Imam Ibnul Mundzir menukilkan dalam Al-Ijma’ bahwasannya tidak ada kewajiban zakat atas janin yang belum lahir[12] (janin yang telah ditiupkan ruh padanya). Namun jika dikeluarkan zakatnya, maka hal itu adalah sesuatu yang baik dan bernilai sedekah. Terlebih bahwa hal ini telah dicontohkan oleh Utsman bin ‘Affan -radhiyallahu ‘anhu-, Beliau mengeluarkan zakat fithri untuk janin[13].


Apakah orang-orang miskin juga wajib mengeluarkan zakat ?

Salah satu hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah sebagaimana pernyataan Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- ;
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Zakat fithri sebagai pembersih orang yang berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak baik selama ia berpuasa.”[14]. Olehnya itu, maka seluruh orang yang berkemampuan sebagaimana kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, wajib atasnya mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan untuk seluruh orang yang wajib ditanggungnya.
Pendapat lain dari madzhab Hanafiyah menyatakan: Zakat fithri tidak wajib kecuali atas orang yang memiliki harta sebesar satu nishab atau lebih. Ibnu Bazizah mengatakan;

لَمْ يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى اِعْتِبَارِ النِّصَابِ فِيهَا لِأَنَّهَا زَكَاةٌ بَدَنِيَّةٌ لَا مَالِيَّةٌ

“Tidak ada dalil yang mensyaratkan nishab dalam zakat fithri, sebab ia adalah zakat badaniah, bukan zakat atas harta.[15]“.

Waktu Diwajibkan

Zakat fithri sebagaimana yang telah disebutkan adalah sebuah ibadah yang wajib disebabkan karena sebab, diantaranya adalah fithri (berbuka), sebagaimana penamaannya. Olehnya maka zakat fithri tersebut boleh mulai dikeluarkan ketika terbenamnya matahari di penghujung Ramadhan. Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fithri untuk membersihkan seorang yang telah berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak baik selama berpuasa, dan juga untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat I’ed, maka yang ditunaikannya itu adalah zakat yang diterima. Tetapi jika ia menunaikannya setelah pelaksanaan shalat I’ed, maka tidaklah yang ditunaikannya itu melainkan seperti sedekah biasa.”[16].


Lantas bagaimana jika zakat tersebut dikeluarkan sebelum waktu yang disebutkan ?. 

Dalam masalah ini ada beda pendapat dikalangan para ulama, tetapi yang lebih tepat adalah yang menyatakan bahwa dibolehkan membayar zakat tersebut sehari atau dua hari sebelum hari I’ed. Tetapi akan lebih utama jika mengeluarkannya di waktu yang diperintahkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu setelah shalat subuh, sebelum berangkat ke lapangan melaksanakan shalat I’ed. Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ .

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fithri sebesar satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum. Diwajibkan atas kaum muslimin baik dari golongan orang merdeka atau budak, laki-laki dan perempuan, serta anak kecil dan orang dewasa. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh mengeluarkan zakat tersebut sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat I’ed.”[17]. Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata;

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ .

“Ibnu Umar –-radhiyallahu ‘anhu- menyerahkan zakat fithrinya kepada mereka yang menerimanya (petugas amil yang telah ditunjuk). Dan para sahabat menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari I’ed.”[18].
Dari uraian ini diketahui bahwa zakat fithri yang dikeluarkan sebelum waktu yang disebutkan tidaklah dinyatakan sah, terlebih karena hal tersebut akan bertolak belakang dengan salah satu tujuan agama dari kewajiban zakat fithri itu yaitu agar tidak ada lagi orang yang meminta-minta di hari I’ed yang mulia tersebut. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ;

أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupkanlah orang-orang fakir dengan zakat fithri sehingga mereka tidak meminta-minta di hari itu.”[19].

Hukum bagi yang menunda pembayaran zakat fithri

Mengakhirkan zakat fithri tanpa udzur syar’I hingga lewat waktu shalat Ied adalah haram. Zakatnya tidak bernilai melainkan sama dengan sedekah biasa. Keadaannya sama dengan seorang yang menyembelih kurban sebelum pelaksanaan shalat I’ed; tidaklah sembelihannya itu dinilai sebagai ibadah kurban, tetapi sembelihannya itu tidak lain hanyalah seperti sembelihan biasa. Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata, dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ;

من أداها قبل الصلاة , فهي زكاة مقبولة , ومن أداها بعد الصلاة , فهي صدقة من الصدقات

“Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat I’ed, maka yang ditunaikannya itu adalah zakat yang diterima. Tetapi jika ia menunaikannya setelah pelaksanaan shalat I’ed, maka tidaklah yang ditunaikannya itu melainkan seperti sedekah biasa.”[20].

Apa yang dizakatkan untuk fithri ?

Jenis yang dizakatkan adalah makanan pokok sebuah komunitas berdasarkan isyarat dari hadits ;

أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupkanlah orang-orang fakir dengan zakat fithri sehingga mereka tidak meminta-minta di hari itu.”[21].
Mengeluarkan zakat berupa nominal uang tidaklah dianggap sah karena hal tersebut menyelisihi contoh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya; seluruh mereka tidak ada yang mengeluarkan berupa nominal uang, meski nominal tersebut ada pada mereka dan kebutuhan orang ketika itu terhadap uang, -pun tidak lebih kurang dari kebutuhan orang sekarang terhadapnya.

Ukuran

Ukuran makanan pokok yang dikeluarkan pada zakat fithri adalah 1 (satu) sha. Satu sha menurut ukuran penduduk Madinah adalah 4 mud. Satu mud gandum ukurannya kurang lebih 600 gr. Maka 4 mud sama dengan 2400 gr atau –untuk lebih hati-hati- dibulatkan menjadi 3 kg. Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ .

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fithri sebesar satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum. Diwajibkan atas kaum muslimin baik dari golongan orang merdeka atau budak, laki-laki dan perempuan, serta atas anak kecil dan orang dewasa. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh mengeluarkan zakat tersebut sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat I’ed.”[22].

Siapa yang berhak menerima zakat fithri ?

Kelompok yang berhak menerima zakat fithri adalah orang-orang miskin berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-;

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ.

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fithri untuk membersihkan seorang yang telah berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak baik selama berpuasa, dan juga untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin.”[23].

Demikian risalah singkat berkenaan dengan ibadah mulia ini. Semoga Allah menerima segala bentuk amalan ibadah kita dan menjadikannya sebagai bekal yang bermanfaat kelak ketika berjumpa dengan-Nya.

[1] Lihat “Iyqaadzh al afhaam syarhu umdati al ahkaam”, (3/107); dan “Subul as salaam”, (3/244)
[2] HR. Abu Daud, [2 /26]
[3] Lihat “Fiqhu as Sunnah”, (1/412)
[4] Umdatu al Qaari’e syarhu sahih al Bukhari, (14/137)
[5] HR. Bukhari, [3 /570]
[6] HR. Nasaa’I, [1 /585]
[7] Lihat “Fathu al Baari”, (5/135)
[8] Tanwiiru al miqbaas, [2 /137]
[9] HR. Bukhari, [3 /570]
[10] HR. Daraquthni, [2 /141]
[11] az Zakaatu al Fariidhah al Matruukah, hal. 24
[12] al Ijma’, hal. 46
[13] Lihat “al Mughni”, (2/713)
[14] HR. Abu Daud, [2 /25]
[15] Fathu al Baari, [5 /136]
[16] HR. Abu Daud, [2 /25]
[17] HR. Bukhari, [3 /570]
[18] HR. Bukhari, [3 /586]
[19] HR. Daraquthni dengan sanad yang lemah, lihat “Subul as Salaam”, (3/247)
[20] HR. Abu Daud, [2 /25]
[21] HR. Daraquthni dengan sanad yang lemah, lihat “Subul as Salaam”, (3/247)
[22] HR. Bukhari, [3 /570]
[23] HR. Abu Daud, [2 /25]

0 Comments:

Post a Comment