Senin, 20 Juni 2011

Bid'ahkah Tarbiyah Bermarhalah??

WASILAH DAKWAH, TAUQIFIYYAH ATAU IJTIHADIYAH?
                      Sebelum melangkah lebih dalam tentang bahasan Tarbiyah Marhaliyah, yang paling utama harus dipahami adalah masalah wasilah dakwah. Yakni, makna wasilah dakwah serta posisi wasilah tersebut. Apakah ia tauqify (permanen dan tidak butuh ijtihad padanya) atau ijtihady (dibangun atas ijtihad sesuai dengan tempat dan zaman). Disamping penjelasan akan perbedaan antara wasilah dakwah dan uslub dakwah yang banyak disalahpahami oleh sebagian kalangan. 

Nah, dari penjelasan ini, akan dapat kita simpulkan, apakah Tarbiyah Marhaliyah itu masuk dalam kategori wasilah dakwah atau uslub dakwah. Maka dengan memohon taufiq dan pertolongan Allah Ta'ala, kami katakan:
                        Wasilah secara etimologi berasal dari huruf (waw, sin dan lam) yang berma'na ar-roghbatu wa at-tholab (keinginan dan permohonan). Dikatakan wasala, jika dia memiliki keinginan, al-waasilu maknanya ar-raaghibu ilallahi (orang yang beribadah kepada Allah). Kalimat tersebut juga memiliki makna beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun secara terminologinya, para ulama bahasa hampir sepakat, bahwa makna al-wasilah adalah: Maa Yutaqarrabu bihi ila al-Ghair, atau "Sesuatu yang dijadikan sebagai media untuk mendekatkan kepada yang lain".
Adapun yang dimaksud dengan wasilah ad-da'wah menurut para ulama adalah :
ما يستعين به الداعية علي تبليغ الدعوة من أشياء وأمور
"Sesuatu atau perkara yang dijadikan oleh seorang da'i sebagai media untuk menyampaikan da'wahnya".al-Hikmah Fid Da'wat Ilallah, Dr. Sa'id bin Ali al-Qahthany, h. 103.
Asy-Syaikh Dr. Sa'id bin Ali al-Qahthany hafidzahullah memberi perincian akan wasilah tersebut, seraya menyatakan: "Tidak diragukan, bahwa wasilah da'wah terbagi menjadi dua. Pertama, media-media eksternal yang terkait, dengan melakukan sebab untuk menyiapkan kondisi yang layak. Lalu beliau memaparkan beberapa contoh.  
Kedua, media penyampai da'wah yang sifatnya langsung. Media ini dapat berupa perkataan, perbuatan dan akhlaq seorang da'i yang bisa menjadi qudwah bagi yang lainnya, hingga sanggup menarik orang lain kepada Islam. Sebagai contoh dari media, penyampaian dengan perkataan. Dimana dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan umum, muhadharah (ceramah), seminar, diskusi ilmiyah, ta'lim di masjid atau di universitas–universitas atau di ma'had–ma'had, atau di sekolah–sekolah, mu'tamar, atau event penting lainnya yang banyak dihadiri manusia".Ia-Hikmah fi ad-Da'wati Ilallahi, hal. 103 -105.
Intinya, bahwa wasilah dakwah itu dibangun atas ijtihad, dengan memandang atau mencari cara demi tercapainya tujuan dari dakwah tersebut, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan pokok-pokok dan kaidah dalam syari'at.
Sedangkan ma'na al-Uslub, secara etimologis adalah al-wajh wat thoriiqu wal madzhab atau sisi, metode dan aliran.Lihat Tahdzib al-Lughah, IV/289, al-Muhithu Fi al-Lughah, II/263. al-Maktabah al-Syamilah.
Adapun ma'na uslub da'wah, ia bermakna :
العلم الذي يتصل بكيفية مباشرة التبليغ وإزالة العوائق عنه
"Ilmu yang berkaitan dengan metode menyampaikan (dakwah) serta cara menghilangkan penghalang–penghalang tabligh (penyampaian) tersebut".Lihat: al-Hikmah Fi Da'wah Ilallahi, h. 102.
Perlu dipahami, bahwa uslub da'wah itu harus dibangun atas landasan al-Qur'an dan as-Sunnah serta sirah salafussholih. Misalnya metode (ilmu) menghindari kerusakan yang lebih besar, metode memilih sesuatu yang mudharatnya lebih kecil, metode dalam menyikapi keadaan objek dakwah, metode memulai dakwah dengan seruan tauhid yang merupakan puncak segala perkara (sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu'adz bin Jabal), metode lemah lembut dan metode tegas pada tempat sebenarnya dan lain sebagianya, yang seluruhnya harus dibangun atas landasan hujjah dan dalil. 
Asy-Syaikh Dr. Sa'id al-Qahthany hafidzahullah menjelaskan, bahwa uslub da'wah yang sukses itu jika dilatari oleh beberapa faktor penting, diantaranya: Uslub hikmah, nasehat yang baik, metode jidal, dan menggunakan metode keras pada para pembangkang"Untuk lebih jelasnya, silahkan ruju' kitab al-Hikmah Fi ad-Da'wati Ilallahi, hal 103.
            Jika dicermati definisi–definisi di atas, nampak bahwa wasilah da'wah terkait dengan media dakwah baik itu perkataan, perbuatan, akhlaq atau sarana–sarana lainnya, berupa alat penyampaian da'wah. Adapun uslub da'wah terkait metode penyampaian dakwah, baik menggunakan uslub hikmah, mau'idhah hasanah (nasehat yang baik), uslub jidal (debat dengan cara yang baik), uslub targhib wat tarhib, dan sebagainya. Jika dianalogikan perbedaan antara wasilah dan uslub dakwah tersebut, ibarat seorang yang hendak menuju suatu tempat. Maka sarana (wasilah) yang digunakan banyak ragamnya sesuai apa yang baik baginya. Adapun cara (uslub) menjalankan wasilah (kendaraan) itu maka ia merupakan sesuatu yang telah baku dan disepakati tata caranya oleh mereka yang kompeten dalam hal tersebut. Demikian halnya dengan wasilah dan uslub dakwah. Wasilah merupakan sesuatu yang padanya terdapat keluasan ijtihad, sedang uslub merupakan sesuatu yang harus dibangun di atas landasan dalil berupa al-Qur'an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafussalih. Namun sayangnya, banyak orang belum paham dan menyamakan antara wasilah dan uslub, hingga tergesa menyatakan, bahwa wasilah dakwah itu sifatnya tauqify !?.
Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Apakah wasilah dakwah ilallah tergolong perkara tauqifiyyah, dalam arti bahwa dalam berdakwah tidak boleh menggunakan sarana-sarana modern hari ini seperti media-media masa dan selainnya, dan bahwasanya yang harus dilakukan adalah hanya membatasi diri pada wasilah-wasilah dakwah yang digunakan di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?". Beliau rahimahullah menjawab: "Yang utama, wajib diketahui sebuah kaidah, bahwa wasilah itu tergantung pada tujuan-tujuannya, sebagaimana diakui oleh para ahli ilmu, bahwa al-wasaail laha ahkaam al-maqashid [wasilah itu baginya hukum tujuannya], selama wasilah-wasilah tersebut bukan sesuatu yang diharamkan.Sebab jika ia diharamkan, maka tidak ada kebaikan padanya. Adapun jika wasilah itu tergolong dalam perkara mubah dan dapat menyampaikan pada tujuan yang dikehendaki secara syara', maka ia tidak mengapa. Akan tetapi, ini tidak bermakna kita menyimpang dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan apa yang ada pada keduanya berupa nasehat, kecuali apa yang kami pandang bahwa ia merupakan wasilah dakwah ilallah. Dan terkadang kami pandang bahwa hal ini tergolong wasilah namun selain kami menganggap bahwa ia bukan wasilah. Karenanya, hendaknya dalam dakwah itu menggunakan wasilah yang manusia sepakat atasnya agar tidak merusak dakwahnya lantaran padanya terdapat perbedaan dikalangan manusia". Lihat: Fatawa Islamiyah, IV,372.
                   Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah pernah ditanya: "Banyak perkataan seputar wasilah dakwah, dalam posisi ia tauqifiyah atau bukan, apakah pendapat yang benar dalam hal ini?". Beliau menjawab: "Pendapat yang benar dalam hal ini, bahwa wasilah dakwah itu segala apa yang menyampaikan pada (maksud) dari dakwah, dan ia bukan sesuatu yang sifatnya tauqifiyah. Akan tetapi, tidak mungkin (tidak boleh) dakwah itu dengan menggunakan sarana yang diharamkan, sebagaimana jika seseorang berkata: mereka adalah kaum yang tidak menerima dakwah kecuali jika kalian menggunakan musik atau seruling dan selainnya. Semua ini adalah perkara haram. Adapun selainnya (yang tidak diharamkan), maka setiap wasilah yang menyampaikan pada maksud (dakwah) maka ia diperlukan".Lihat: al-Fatawa al-Tsuliyah, I/42.
              Beliau rahimahullah pernah ditanya pula: "Apa pendapat Anda yang mulia, apakah wasilah dakwah itu tauqifiyah atau ijtihadiyah, seperti nasyid-nasyid Islami yang diketengahkan bagi para pemuda untuk tujuan hidayah bagi mereka?". Beliau rahimahullah menjawab: "Ala kulli hal, Dakwah ilallah (dapat dilakukan) dengan thariqah (cara) apa saja (selama bukan yang diharamkan, pent). Namun yang harus diketahui bahwa yang paling afdhal diserukan oleh manusia adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…dan ini adalah yang paling utama. Akan tetapi, jika disana terdapat pemuda-pemuda yang masih jauh (dari agama) dan kita menginginkan untuk menarik hati mereka baik dengan cara menyelenggarakan kegiatan olahraga yang dibolehkan atau melalui nasyid-nasyid yang tidak diharamkan, maka itu tidak mengapa…". Liqoat al-Baab al-Maftuuh, Juz 222/36.
Team Al-Inshaf telah bertanya langsung kepada Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzahullah (seorang ulama terpandang di Saudi Arabiyah, murid Fadhilatus Syaikh Abdulllah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selama 15 tahun, juga murid Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, sekaligus keluarga dekat dan murid al-Allamah Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah, dan kini menjadi salah seorang asisten Mufti al-Aam kerajaan Saudi Arabiyah Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, beliau penulis banyak kitab diantaranya: Tas-hil al-Aqidah al-Islamiyah, Dhawabith at-Takfir al-Mu'ayyan, Syarh Umdah al-Fiqh, Majmu' ar-Rasaail al-Fiqh, al-Iqna' lil Hafidz Ibn Al-Mundzir, Majmu' al-Qashash wa Ahkbar min Shahih as-Sunnah wa al-Atsar, Qashash Islam as-Shahabah, al-Yahuud, dan selainnya), tentang apakah wasaail da'wah itu ijtihady atau tauqify?, maka beliau dengan tegas menyatakan bahwa wasaail dakwah itu ijtihady.
Bertolak dari penjelasan di atas, kami memandang bahwa Tarbiyah Marhaliyah yang akan kami paparkan, termasuk dalam persoalan wasilatud da'wah yang padanya terdapat kelapangan ijtihad. Sekali lagi kami tegaskan, bahwa tujuan utama pembentukan Tarbiyah berjenjang adalah untuk memudahkan ta'shil (penyampaian) ilmu kepada para mad'u agar memperoleh tashawwur (pemahaman) Islam yang baik dan sistematis. Dan hukum asal baginya, yakni wasilah dakwah adalah mubah (boleh) selama tidak ada unsur keharaman di dalamnya. Wallahu a'lam.

DEFINISI TARBIYAH BERMARHALAH


Tarbiyah Islamiyah dalam kapasitasnya sebagai manhaj at-taghyir yang direkomendasikan para ulama mu'tabarin serta diharapkan menjadi solusi bagi keterpurukan umat, memiliki definisi sebagai berikut :
Secara etimologis, tarbiyah berasal dari akar kata rabaa, yarbuu yang bermakna zaada wa namaa' [bertambah dan berkembang]. Atau rabaa, yarbaa yang bermakna nasya'a wa tara'ra'a [tumbuh dan berkembang]. Atau rabba, yarubbu yang bermakna ashlahahu [memperbaikinya].
Sedangkan secara terminologi, Tarbiyah bermakna:
Pertama, menurut Imam ar-Raghib al-Ashfahani: "Menumbuhkan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain sampai pada kesempurnaan".Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam Mufradat-nya, hal. 195.
Dari definisi-definisi ini, Syaikh Abdur Rahman Albani menyatakan, bahwa tarbiyah itu terdiri dari beberapa unsur: (1). Menjaga dan memelihara fitrah –matarabbi'- yang sedang tumbuh. (2). Mengembangkan potensi-potensinya yang banyak dan beragam. (3). Mengarahkan fitrah dan potensi-potensi tersebut pada kesempurnaan yang sesuai dengannya. (4). At-Tadarruj (bertahap) dalam melakukan hal-hal tersebut, dan ini sesuai apa yang diisyaratkan oleh Imam al-Baidhawy, "…sedikit demi sedikit", juga ar-Raghib: "…dari satu kondisi ke kondisi lain".Lihat: Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Abdur Rahman an-Nahlawy, h. 13
Adapun definisi Tarbiyah Marhaliyah dalam kaitannya sebagai wasilah ad-Da'wah al-Islamiyah, adalah sebuah wasilah pembinaan berjenjang, melalui pembagian dan pengklasifikasian mad'u dalam beberapa halaqah, dengan menunjuk seorang naqib (kordinator) dan dibimbing langsung oleh seorang murobbi. Durasi pertemuan sekali dalam sepekan, yang meliputi tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits, tashhih bacaan al-Qur'an, tafsir dan hikmah ringkas dari ayat-ayat yang telah dibacakan, lalu dilanjutkan dengan materi tarbiyah (muhadharah).
Perlu diketahui, bahwa halaqah-halaqah tarbawiyah tersebut dibagi menurut tingkat kemampuan ikhwah juga akhwat menjadi tiga jenjang:
Pertama, marhalah Ta'rifiyah (Materi yang disajikan adalah kitab Ushulut Tsalatsah, Kitabul Jami', Syarah Ushul al-Imam).
Kedua, marhalah Takwiniyah (Materi yang disajikan adalah Mujmal Ushul Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Arba'in an-Nawawiyah, serta kajian dasar-dasar Islam).
Ketiga, marhalah Tanfidziyah (Materi yang disajikan adalah Syarah Aqidah at-Thahawiyah, Hadits Fitan, materi-materi kajian pendalaman Islam).
Perpindahan dari satu marhalah menuju marhalah selanjutnya, biasanya didahului oleh ikhtibar (ujian) serta daurah umum untuk melihat sejauh mana pemahaman terhadap materi-materi tarbiyah pada jenjang sebelumnya. Makanya, ada daurah Ta'rifiyah untuk masuk dalam marhalah Ta'rif, daurah Takwiniyah untuk lanjut ke marhalah Takwin, serta daurah Tanfidziyyah untuk terus ke jenjang Tanfidz. Seluruh istilah dan nama-nama tersebut tujuannya untuk memudahkan klasifikasi dan kordinasi agar tidak rancu dan kacau.
Sebagai sebuah sarana (wasilah) memahami ilmu Syar'i, maka marhalah-marhalah tarbawiyah tersebut sifatnya fleksibel dan tidak kaku. Misalnya, jika ada seorang ikhwah yang ingin musyarakah (bergabung) di dalamnya dan telah mengantongi gelar kesarjanaan ilmu syar’i misalnya alumni LIPIA jakarta atau Universitas Islam Madinah, maka ia dibolehkan dan langsung bergabung dalam marhalah Tanfidziyah tanpa harus melalui jenjang-jenjang sebelumnya.
Inilah definisi dan gambaran ringkas tarbiyah bermarhalah dan insyaAllah akan dijelaskan secara rinci tentang substansinya pada point-point berikutnya.

1. DALIL-DALIL UMUM TARBIYAH

Diantara tugas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah menegakkan tarbiyah bagi umat. Menjelaskan dan mengajarkan agama yang haq, membina mereka di atas shirothal mustaqim, serta mensucikan mereka dari kegelapan syirik dan kungkungan adat jahiliyah. Allah Ta'ala berfirman :
"Dialah (Allah) yang mengutus Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, membacakan kepada mereka ayat –ayatnya, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar–benar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. al- Jumu'ah : 2).
Allah Ta'ala berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang–orang yang beriman ketika mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah–tengah mereka dari kalangan sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat–ayatnya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan sunnah, meskipun sebelumnya mereka sebelumnya mereka benar–benar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Ali 'Imran : 164).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Akan tetapi jadilah kalian ulama–ulama yang Robbani, karena kalian telah mengajarkan al-qur'an dan mempelajarinya". (Qs. Ali Iimron : 79).
Juga Firman-Nya: "Sebagaimana kami telah mengutus Rasul di antara kamu yang membaca ayat– ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu al-qur'an dan al-hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". (Qs. al-Baqarah :151).
Inilah rangkaian ayat–ayat al-Qur'an, terkait tugas para Nabi dan Rasul yang intinya terfokus pada "at-Ta'lim dan at-Tazkiyah" yang biasa di masyhurkan dengan istilah "at-Tashfiyah dan at-Tarbiyah". Sebab tidak ada ilmu (at-Ta'lim) yang benar -apalagi di akhir zaman sekarang ini- kecuali melalui at-Tashfiyah dan tidak ada at-Tazkiyah kecuali dengan at-Tarbiyah.

2. SUBTANSI TARBIYAH

Pembaca budiman, merupakan perkara aksiomatik bagi kalangan thullabul 'ilmi, sebuah kaedah masyhur yang lafadznya, "La Musyaahata fil Istilah", yakni tidak ada persoalan dalam dalam masalah istilah. Khususnya istilah-istilah baru yang tidak dikenal oleh para salaf. Karena hakikat dari sesuatu itu adalah isi (subtansi) dan bukan sekedar nama. Dengan syarat selama istilah yang digunakan bukan istilah yang mengandung kemungkinan makna buruk yang diharamkan Allah Ta'ala. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: "Istilah-istilah itu tidak perlu diperdebatkan (dipermasalahkan) selama tidak mengandung kerusakan".Lihat: Madarij as-Salikin, III/306.
Sebagai contoh, diantara para ulama ada yang membagi tauhid menjadi dua, yakni Pertama, Tauhid al-Ma'rifat wal Itsbat, dimana terkandung padanya Iman terhadap wujud Allah, Rububiyah dan Asma wa Shifat-Nya. Kedua, Tauhid al-Qashdu wa at-Thalab, yang mengandung iman terhadap Uluhiyah Allah Ta'ala. Adapula yang lebih terperinci, dimana mereka membagi tauhid menjadi tiga, Tauhid Rububiyah yang mencakup di dalamnya iman terhadap wujud Allah Ta'ala, Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah dan Tauhid Asma' was Shifat. Namun adapula diantara para ulama membagi Tauhid menjadi empat: Iman kepada wujud Allah, Iman terhadap Rububiyah Allah, Iman terhadap Uluhiyah Allah, dan Iman terhadap Nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta'ala. Seluruh pembagian-pembagian tersebut tidak menjadi persoalan selama tidak menunjukkan pada sesuatu atau makna batil. Disamping subtansi dari keseluruhannya sama, yakni berkisar pada empat hal: Imam kepada wujud Allah, Rububiyah, Uluhiyah dan Asma' was Shifat-Nya. Sekali lagi, tidak ada persoalan dalam masalah nama dan pembagian-pembagian.
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Bahwasanya pada zaman ini telah berlaku penyebutan bagi sebagian ilmu-ilmu empirik dengan nama ilmu.Bahkan sekolah-sekolah setingkat SMU menamakannya sebagai "ilmiy" atau "adabiy", apakah hal ini benar? Sebagai tambahan, bahwasanya pembagian-pembagian ini akan terus terngiang di telinga para pelajar yang kemungkinan akan mempengaruhi mereka di masa depan?". Beliau rahimahullah menjawab: "Pembagian tersebut, yakni menjadi "ilmiy" atau "adabiy" hanya merupakan sebuah istilah, dan tidak ada persoalan dalam masalah istilah, sebab mereka memandang bahwa yang dinamakan mata pelajaran ilmiyah itu adalah apa yang berkaitan dengan ilmu alam, makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, dan apa yang semisal dengannya".Kitab al-Ilmi, I/162.
Dari sini kami tegaskan, bahwa kaedah inilah yang bakal menjadi kunci bagi penjelasan kami tentang substansi tarbiyah, yang InsyaAllah akan kami jabarkan pada point ini dan yang setelahnya, akan substansi dan hakikat dari tarbiyah. Hingga akan nampak di hadapan pembacan bahwa substansi dari tarbiyah yang digalakkan oleh WI ternyata berserakan di dunia Islam tanpa ada pengingkaran dari para ulama Ahlu Sunnah. Bahkan boleh jadi, substansi dari praktek tarbiyah, pun dilakukan oleh mereka yang tergesa menjatuhkan vonis bid'ah bagi terbiyah bermahalah pada lembaga-lembaga pendidikan mereka. Kendati datang dengan nama dan istilah yang berbeda. Wallahu musta'an.

· MARHALAH 

Sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa aktifitas tarbiyah WI tegak atas asas marhalah (penjenjangan). Karenanya, wasilah inipun dikenal dengan nama Tarbiyah Marhaliyah. Terdapat tiga marhalah dalam tarbiyah WI, diantaranya, (1). Marhalah Ta'rifiyah, (2). Marhalah Takwiniyah, (3). Marhalah Tanfidziyah.
Barangkali, yang membuat ikhwah "salafy" alergi dan tergesa menolak sistem ini, lantaran istilah marhalah identik dengan istilah–istilah pergerakan, dan kurang familiar di telinga mereka. Padahal, sekali lagi, substansi dari istilah marhalah sama dengan substansi dari istilah-istilah yang banyak digunakan dalam proses pendidikan di seluruh dunia seperti mustawa (semester), kelas, tingkatan atau istilah–istilah lainnya yang seluruhnya merupakan bentuk manivestasi dari at-tadarruj fi ad da'wah, [tahapan-tahapan dalam dakwah]. Bahkan ia merupakan inti dari sifat hikmah dalam berdakwah sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur'an.
Disamping itu tadarruj merupakan fitrah badhihiyah (perkara alamiah aksiomatik) yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia tumbuh melalui proses tadarruj, dimulai dalam kandungan, lalu masa bayi, kanak–kanak, remaja, dewasa, hingga sampai pada marhalah masa tua. Demikian pula dalam hal ilmu pengetahuan. Baik yang sifatnya ilmu diniyah maupun pengetahuan-pengetahuan umum lainnya, bahwa manusia itu dimulai dari tidak mengetahui sesuatu apa-pun, lalu melalui proses belajar yang sifatnya tadarruj, barulah ia mengetahui dari ilmu-ilmu tersebut. Allah Ta'ala memberi isyarat bagi kita dalam hal ini pada firman-Nya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (Qs. An-Nahl : 78).
Lebih dari pada itu, tadarruj termasuk diantara manhaj al-Qur'an dalam menetapkan sebagian hukum-hukum syara'. Perhatikan proses tadarruj dalam pengharaman khamar, dimana padanya berlalu empat marhalah. Dimulai dari pembolehan secara mutlak sebagaimana disinggung dalam surah an-Nahl ayat 67, lalu larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk seperti tertera dalam surah an-Nisaa' ayat 43, kemudian keterangan bahwa khamer itu mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya seperti dalam surah al-Baqarah ayat 219, terakhir turun pengharamannya secara mutlak sebagaimana dalam firman-Nya pada surah al-Maidah ayat 90. Demikian pula masalah jihad dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, sangat aneh jika seseorang itu mengabaikan proses alamiyah (tadarruj) ini, bahkan bisa dikatakan ia membohongi fitrah dan akal sehat yang merupakan karunia dari Allah Azza wa Jalla.
Perlu diketahui, para ulama salaf pun telah menganjurkan metode tadarruj atau marhalah dalam proses pembelajaran, halaqoh ilmu atau apapun namanya, untuk tujuan menanamkan pemahaman yang baik dan lurus dalam proses transfer ilmu. Sebab manusia tidak berada di atas pemahaman yang sama dalam penerimaan ilmu dan pengetahuan. Berikut ini beberapa nukilan dari ulama salaf diantaranya:
Pertama, perkataan Abdullah bin Abbas radhiallahu'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: "Akan tetapi jadilah orang–orang yang Robbani karena kamu mengajarkan kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya". (Qs : Ali Imran : 79 ). Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: "Maksud dari Robbani adalah yang mengajarkan ilmu–ilmu kecil sebelum ilmu –ilmu besar".Lihat: Shohih al-Bukhori, bab: al-Ilmu Qobl al-Qouli wa al-'Amali, lihat pula: Tafsir al-Qurthubi, IV/122. Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Maksud shigarul ilmi (ilmu-ilmu yang kecil) adalah ilmu yang telah jelas masalah-masalah (hukum)nya. Sedangkan kibarul ilmi (ilmu-ilmu yang besar) adalah ilmu yang lebih pelik (hukum-hukum) darinya". (Lihat: Fath al-Bari, I/162).
Kedua: Imam al-Bukhari berkata dalam Shahihnya, [Bab Man Khassha bil Ilmi Qauman Duna Qaumin Karahiyata an Laa Yafhamuu], yakni "Bab Orang yang mengkhususkan ilmu kepada satu kaum dan tidak pada kaum lain, karena menghindari jangan sampai mereka tidak memahaminya".
Ketiga: Hadits Mu'adz bin Jabal radhiallahu anhu, tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam membonceng beliau di atas untanya dan mengabarkan akan hak Allah Ta'ala atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah Ta'ala. Lantaran merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan maka Mu'adz pun berkata pada Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Bolehkan aku sampaikan kabar gembira ini kepada manusia?". Beliau menjawab: "Jangan engkau kabarkan, agar jangan sampai mereka hanya bersandar (pada rahmat Allah tersebut)".HR. Bukhari dan Muslim.
Keempat: Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya!?.Riwayat Bukhari
Kelima, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Mengajak kepada syahadat Lailahaillallahu, masalah kesebelas: menjelaskan tentang metode pembelajaran dengan bertahap.Kitabut Tauhid, bab ad-Da'watu ila as-Syahadah.Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam al-Qaul al-Mufid syarah Kitabut Tauhid, I/12: "Yang demikian sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam mengkhususkan ilmu ini kepada Mu'adz dan tidak pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Olehnya, boleh mengkhususkan suatu ilmu pada sebagian manusia, lantaran sebagian manusia jika dikabarkan padanya sesuatu dari ilmu tersebut, maka akan menjadi fitnah baginya. Dalam hal ini Abdullah Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata: "Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaran yang tidak sampai pada akal mereka (susah dicerna), melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka". Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya". Olehnya setiap kita harus berbicara sesuai dengan kadar pemahaman dan akalnya.
Ketujuh, Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata: "Barang siapa yang belum menyempurnakan ushul (ilmu pokok), maka tercegah baginya wushul (menjadi ulama). Dan barangsiapa yang mendapatkan ilmu dalam sekejap, maka ilmu itu akan lenyap dalam sekejap pula. Dalam sebuah riwayat: Banyaknya ilmu yang didengar, akan menghalangi pemahaman. Karenanya, wajib bagi penuntut ilmu untuk menta'shil dan menguatkan (pembelajaran) semua cabang ilmu yang dipelajari, dengan mendalami kitab asli atau mukhtashor-nya kepada seorang syaikh, dan bukan lewat pembelajaran secara pribadi saja. Demikian pula, mempelajari ilmu tersebut secara tadarruj (bertahap).Lihat: Hilyah Tholibil 'Ilmi, hal : 12.
Pada tempat lain, setelah memaparkan akan buku-buku yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu secara bertahap, beliau lalu menegaskan: "….dan tidak diperkenankan (bagi thalib) yang berada pada tingkat pertama untuk duduk belajar pada tingkat kedua, dan seterusnya untuk menghindari kekacauan".Lihat : Hilyah Thalabil Ilmi, hal. 13.
Fadhilatus Syaikh Sholih al-Munajjid hafidhahullah menceritakan tentang sirah Fadhilatus Syaikh Al-Mufti Muhammad bin Ibrohim rahimahullah: "Beliau rahimahullah memiliki tiga majlis, mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka beliau akan mengusirnya dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan tempatmu, bukan dari sini kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa ujub (bagimu)".Lihat: Majmu'ah Muhammad al-Munajjid, Mawaaqif Tarbawiyah Muattsirah min Siyar al-Ulama, Juz 33/29. al-Maktabah al-Syamilah.
Secara spesifik dan terperinci, masalah ini telah ditanyakan lansung kepada Fadhilatus Syaikh Pror. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, dan beliau hafidzahullah berkata: "Pembagian marhalah-marhalah tersebut mathlub (dituntut), bahkan terkadang sampai pada hukum wajib".

PEMBAGIAN HALAQAH-HALAQAH TARBIYAH

              Klasifikasi dan pembagian halaqah-halaqah tarbiyah termasuk sarana yang digunakan untuk memudahkan ta'shil bagi ilmu syar'i tersebut. Sebab, perlu diketahui jumlah ikhwah dan akhwat yang berada pada setiap marhalah sangat banyak dan tidak memungkinkan pelaksanaan tarbiyah efisien dalam jumlah tersebut. Olehnya, cara yang paling mudah dan lazim adalah memecahnya dalam bentuk halaqah-halaqah, dimana setiap halaqah itu memiliki nama tersendiri untuk memudahkan pengklasifikasian serta evaluasi sejauh mana keberhasilan suatu halaqah dalam proses transfer ilmu.
             Masalah pembagian halaqah-halaqah ini, maka cukuplah kami kutipkan fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah yang memberi keterangan akan hal ini.
               Beliau rahimahullah pernah ditanya. Penanya: "Sebagian guru-guru wanita di sekolah-sekolah atau fakultas-fakultas membagi siswi-siswi yang berada pada kelas-kelas kuliah menjadi beberapa kelompok atau halaqah-halaqah, dimana ada halaqah Aisyah, halaqah Khadijah, dan seterusnya untuk tujuan agar tidak terjadi kerancuan. Akan tetapi, sebagian akhwat mengeluhkan seraya berkata: Bahwasanya ada beberapa siswi yang bersama kami di mushallah menjauh dari Mushallah dengan alasan bahwa pembagian (halaqah-halaqah) tersebut tidak di atas manhaj dan bukan termasuk jalan salaf. Lalu mereka keluar dan berkumpul di luar mushallah dan membentuk halaqah (kelompok) lain di luar mushallah, dimana perbuatan ini menyebabkan terbagi-baginya shaf dan perpecahan di kalangan para siswi, serta terjadi sebagian perselisihan. Pertanyaannya: Apa nasehat anda? Apakah metode ini (pembagian halaqah) salah atau benar?
Syaikh: menjawab: "Saya katakan, semoga Allah memberkati engkau. Sampaikan pada mereka, bahwa kedua metode itu tidak benar; tidak pada pembagian wanita-wanita ketika shalat dan tidak pula yang bersendiriannya mereka di tempat yang lain".
Penanya: "Bukan pada shalat, akan tetapi dalam halaqah mushallah".
Syaikh: "Apa itu halaqah mushallah?
Penanya: "Pelajaran sekolah dimulai pada jam 7.30, namun siswi-siswi hadir pada pukul 7.00, lalu mereka mengadakan halaqah untuk mempelajari al-Qur'an dan Tafsir".
Syaikh: "Maksudnya adalah halaqah tahfidz?
Penanya: Iya, halaqah-halaqah ta'lim, yakni Tafsir, al-Qur'an, Hadits dan Fiqh".
Syaikh: "Yang penting halaqah-halaqah, mereka menamakan tahfidz al-Qur'an? Jawabannya, perkara ini tidak mengapa. Adapun saya mengatakan halaqah ini namanya halaqah Aisyah, ini halaqah Khadijah dan ini halaqah Fathimah, tidak ada larangan padanya".
Penanya: "Bagaimana dengan wanita-wanita yang keluar itu?
Syaikh: "Mereka yang keluar, maka ini adalah kesalahan dari mereka"
Penanya: "Tapi mereka menggunakan hujjah, bahwa metode ini bukanlah metode salaf?"
Syaikh: "Ini bukan metode salaf, akan tetapi ini adalah tandzim (pengaturan). Apakah belajar dalam bentuk kelas-kelas pembelajaran termasuk metode salaf?".
Penanya: "Tidak".
Syaikh: "Ia bukan termasuk metode salaf. Apakah termasuk metode salaf pengklasifikasian hadits menjadi bab-bab, dimana ada bab thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji? Ini bukan metode salaf. Semua ini tidak ada kecuali setelah zaman para sahabat setelah buku-buku mulai dikarang. Olehnya (perbuatan mereka para wanita itu) salah. Katakan pada mereka yang memisahkan diri itu: Ini adalah satu kesalahan dari kalian; sebab merekalah yang memisahkan diri dari tempat (mushallah) dan penamaan itu".
Penanya: "Agar jelas –ya Syaikh-. Bahwasanya setelah terjadi pemisahan diri ini, maka terjadilah perpecahan mereka dari mahasiswi-mahasiswi, dan terjadi pada…"
Syaikh: "Katakan pada mereka, hendaknya mereka kembali pada tempat pertama (semula) dan setiap salah satu baginya mustawa (tingkatan) dan nama khusus".Lihat: Liqoat al-Baab al-Maftuh, 173/15.
 
 Bergantian Membaca al-Qur'an 

Salah satu kegiatan Tarbiyah Marhaliyah, adalah Tahsinul Qira'ah. Formatnya, dengan cara membaca al-Qur'an secara bergantian dalam satu halaqah tarbawiyah. Sedang anggota halaqoh lainnya menyimak sembari membenarkan bacaan yang salah dari sang qori', agar para anggota halaqah dapat belajar makhorijul huruf dan tajwid langsung dengan prakteknya. Dan hal ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Yang terbaik diantara kalian adalah, yang mempelajari al-Qur'an dan mengajarkannya".HR. Bukhari dari sahabat Utsman bin Affan radhiallahu anhu.  
Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam satu rumah dari sekian rumah-rumah Allah, mereka membaca kitabullah dan saling mengajarkan diantara mereka, melainkan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan jiwa), diliputi oleh rahmat, dikerumuni oleh para malaikat, dan mereka disebut-sebut oleh Allah dihadapan yang ada di sisinya (majelis para malaikat)".HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu.
Model pembacaan al-Qur'an seperti keterangan di atas, walaupun ada ulama yang melarangnya namun alhamdulillah telah direkomendasikan oleh para ulama salaf dan khalaf kita. Berikut ini perkataan para ulama kita perkara tersebut: 
Pertama, perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah :
" فصل في الإدارة بالقرآن" وهو أن يجتمع جماعة يقرأ بعضهم عُشرًا، أو جزءًا ، ثم يسكت، ويقرأ الآخر من حيث انتهى الأول، ثم يقرأ الآخر، وهذا جائز حسن، وقد سئل مالك رحمه الله تعالى عنه فقال: لا بأس به".
Artinya, "Pembahasan tentang membaca al-Qur'an secara bergiliran", yakni berkumpulnya sekelompok orang, sebagian membaca sepersepuluh, atau satu juz kemudian berhenti, dan yang lain meneruskan bacaan dari orang yang pertama, kemudian yang lainnya membaca (lagi), maka ini sangat baik dan diperbolehkan. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab: Tidak mengapa dikerjakan".at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur'an, hal. 103.
 
Kedua, perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
"وقراءة الإدارة حسنة عند أكثر العلماء, ومن قراءة الإدارة قراءتهم مجتمعين بصوت واحد وللمالكية وجهان في كراهتها وكرهها مالك وأما قراءة واحد والباقون يتسمعون له فلا يكره بغير خلاف وهي مستحبة وهي التي كان الصحابة يفعلونها : كأبي موسى وغيره".
Artinya, "Membaca al-Qur'an secara bergiliran merupakan sesuatu yang baik menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan diantara bentuk pembacaan al-Qur'an model ini adalah membaca al-Qur'an secara berjamaah dengan satu suara, madzhab Malikiyah memiliki dua pandangan dalam hukum kemakruhannya, sedang Imam Malik rahimahullah memakruhkannya. Adapun membaca al-Qur'an bergiliran satu persatu sementara yang lainnya mendengarkan, maka tidak di makruhkan tanpa khilaf, bahkan ia disunnahkan dan para sahabat pun telah melakukannya, seperti Abu Musa dan selain beliau".Fatawa al-Kubra, V/345.

0 Comments:

Post a Comment